Halaman

Kamis, 24 September 2020

MENDESKRIPSIKAN PERIODISASI TAHAPAN PERKEMBANGAN SEJARAH INDONESIA UNTUK MEMAKNAI PERISTIWA SEJARAH DAN NILAI-NILAI BUDAYA BANGSA UNTUK MENGGALANG PERSATUAN INDONESIA


File kelompok 4

1. MAKALAH

2. PPT

NOTE: Kelompok 4 bebas plagiasi Unique 100% 


BAB I

PENDAHULUAN

 

Bagaimana cara memaknai peristiwa sejarah dan nilai-nilai budaya bangsa Indonesia?

 Memaknai peristiwa sejarah dan nilai-nilai budaya bangsa Indonesia. Sebelum masuk pada tahap pembahasan periodisasi tahapan perkembangan sejarah Indonesia, kita perlu mengetahui apa yang di maksud dari sejarah itu sendiri serta nilai-nilai apa saja yang terdapat di Indonesia. 

Apa arti sejarah secara umum?

Secara umum sejarah dapat diartikan sebagai asal-usul, cerita, ataupun peristiwa yang terjadi di masa lampau. Peristiwa yang dimaksud adalah peristiwa yang benar-benar terjadi dan berdasarkan fakta. Nilai-nilai yang terdapat pada bangsa Indonesia berdasarkan pancasila sebagai dasar negara yaitu nilai ketuhanan, nilai kemanusiaan, nilai persatuan, nilai kerakyatan, serta nilai keadilan. Yang nilai-nilainya sebenarnya sudah ada sejak zaman dahulu sebelum bangsa Indonesia mendirikan negara Republik Indonesia. Nilai tersebut berupa adat-istiadat, kebudayaan serta nilai-nilai religius. Nilai-nilai ini telah melekat dan teramalkan oleh masyarakat di kehidupan sehari-hari.

Bagaimana upaya kita memaknai sejarah indonesia dalam konteks persatuan?

        Menghargai dan menghormati perbedaan pendapat antar warga negara adalah salah satu upaya melestarikan budaya persatuan sejak zaman kerajaan (bersatunya kerajaan-kerajaan di indonesia untuk melawan penjajah). Contoh lainnya yaitu dengan ikut andil atau terlibat dalam memajukan semua sektor yang berguna untuk kemajuan Indonesia, termasuk juga melestarikan “pola pikir sehat” yang berlandaskan persatuan agar tidak terjadi perpecahan bangsa atas dasar yang tidak begitu perlu untuk dibesar-besarkan.

 

BAB II

PEMBAHASAN

 

2.1 Periodisasi Tahap-Tahap Perkembangan Sejarah Indonesia

Periodisasi, sejarah-sejarah Indonesia berdasarkan urutan atau masa terjadinya periode tersebut dibagi menjadi :

1.      Masa Praaksara

Masa ini ditandai dengan belum adanya sistem tulis menulis pada peradaban manusia. Di Indonesia masa ini dimulai dari hidupnya manusia purba, hingga berkembangnya peradaban dengan tulis menulis yang di akibatkan dari pengaruh masuknya budaya India.

2.      Masa Kerajaan Hindu-Budha (Abad ke 5 hingga 15 masehi)

Mr. Mohammad Yamin mengatakan bahwa berdirinya negara di Indonesia tidak dapat dipisahkan dari beberapa kerajaan lama yang merupakan nenek moyang bangsa Indonesia. Negara Indonesia dibentuk melalui tiga tahap, yaitu :

Pertama,  zaman Sriwijaya dibawah Wangsa Syailendra (600-1400M) dengan bercirikan Kedatuan. Kedua negara kebangsaan zaman Majapahit (1293-1525) dengan bercirikan Keprabun, kedua tahap tersebut merupakan negara Indonesia Lama. Serta tahap Ketiga  adalah Negara Kebangsaan Modern,  yaitu negara Indonesia merdeka (sekarang negara RI yang di proklamasikan pada tanggal 17 Agustus 1945) (Sekretariat Negara RI,1995:11)

3.      Masa Islam (Abad ke 12 hingga ke 16)

Kerajaan di Indonesia diperkirakan kejayaannya berlangsung antara abad ke 13M sampai dengan abad ke 16M. Berkembangnya kerajaan-kerajaan tersebut dikarenakan maraknya lalu lintas perdagangan laut yang terjadi. Pedagang-pedagang islam berbaur dengan masyarakat Indonesia yang menyebabkan tersebarnya agama islam di Indonesia.

Hubungan antara negara dan agama adalah hubungan yang tidak sepenuhnya terintegrasi dan tidak pula sepenuhnya terpisah. Dalam konteks inilah agama islam yang dibawa oleh para pedagang islam yang menjadikan kemunculan kerajaan-kerajaan islam dapat memberikan kontribusi yang positif sebagai faktor integratif yang menghargai kemajemukan masyarakat dan bukan sebagai faktor disintegratif yang mendukung ekslusifisme dalam masyarakat.

4.      Masa Penjajahan (Belanda – Jepang tahun 1605-1945)

Pada masa penjajahan Belanda (1605-1942) menjajah Indonesia dengan tujuan untuk menguasai perdagangan rempah-rempah di Indonesia , sementara Jepang (1942-1945) menjajah Indonesia dengan tujuan menggantikan Belanda sebagai penjajah untuk menjadikan Indonesia sebagai penghasil dan penyuplai bahan mentah dan bahan bakar bagi industri Jepang dan juga tempat pemasaran hasil industri Jepang karena jumlah penduduknya yang mengutungkan. Selain itu Jepang juga bertujuan untuk menjadikan bangsa Indonesia sebagai tenaga paksaan tambahan untuk membantu Jepang demi memenangkan perang dengan sekutu Amerika.

5.      Masa Kemerdekaan (Tahun 1945 – sekarang)

Proklamasi 17 agustus 1945 merupakan sumber hukum berdirinya negara Republik Indonesia. Namun, banyak yang mengira bahwa kemerdekaan indonesia dikorelasikan dengan kegagalan Jepang pada tanggal 6 agustus 1945, padahal rencana terakhir Jepang yang berupa janji kemerdekaan untuk Indonesia tidak terlaksana sehingga membuat Indonesia mencari cara sendiri dengan bersatu untuk mencapai kemerdekaan. Contohnya, peristiwa Rengasdengklok yang membuktikan bahwa pemuda indonesia bisa bersatu dan berpola pikir untuk kemerdekaan. Namun, setelah kemerdekaan pun ada pihak-pihak atau oknum tertentu yang masih belum bisa memaknai peristiwa sejarah dan nilai-nilai budaya bangsa untuk menggalang persatuan indonesia.

            Isu yang masih melekat diingatan kita adalah Tragedi Sampit tahun 2001 yang melibatkan antara suku dayak dan suku madura, serta isu yang terjadi pada tahun-tahun belakangan ini

 yang cukup “mengusik” rasa nasionalisme dan persatuan indonesia. Lebih tepatnya terjadi pada saat pemilihan presiden tahun 2019 yang menyebabkan bangsa Indonesia terpecah menjadi dua kubu pendukung capres dan cawapres.

 

2.2  Perpecahan Dua Kubu Pendukung Capres dan Cawapres

            Pada awal pemilihan presiden 2014, suasana memanas dikarenakan aksi berbalas protes antar saksi capres dan cawapres 1 versus capres dan cawapres 2 dikarenakan kedua kubu yang bertarung mengklaim kemenangan masing-masing berdasarkan hasil yang mereka yakini benar dan ditayangkan oleh media tayang yang berbeda.

            Apalagi capres 1 sempat dinyatakan menolak dan mundur dari proses pilpres, kubu tersebut juga Walkout dari proses rekapitulasi di KPU. Penolakan tersebut didasari karena tudingan dan kecurigaan besar-besaran pada proses PilPres.

            Tuduhan tersebut dibantah oleh ketua Mahkamah Konstitusi yang memutuskan menolak seluruh gugatan perselisihan hasil pilpres yang diajukan kubu capres dan cawapres 1. Mahkamah Konstitusi menilai tidak ada kecurangan yang terstruktur dan sistematis yang dilakukan penyelenggara pemilu pada pilpres 2014.

            Efek domino drama politik pilpres 2014 terlihat secara gamblang saat terjadinya adu politik saling sandera. Jika dua kubu ini tetap mengindahkan putusan Ketua Mahkamah Konstitusi, maka konflik ini ujungnya akan menyandera kepentingan rakyat. Ahli memprediksi kondisi itu akan mengundang campur tangan kekuatan rakyat yang jika tidak terkelola dengan benar dengan cermat akan menimbulkan anarki.

Proses demokrasi indonesia masih terus bergerak menuju kedewasaan, kondisi ini tentu menjadi ujian penting bagi partai dan elite yang berperan didalamnya untuk menunjukkan kedewasaan dalam berpolitik tanpa menunggu rakyat menjadi jenuh dan marah.

2.3 Efek Domino Kegaduhan di Pilpres 2014

Pengaruh dari kegaduhan pilpres 2014 menjalar hingga pilpres 2019 yang menciptakan kegaduhan yang cukup bisa di rasakan masyarakat luas, salah satu nya adalah perpecahan antar umat beragama, serta munculnya beberapa isu ras dan suku yang disebabkan Polarisasi yang diperparah dengan politik identitas.

Peran politik identitas sangatlah besar untuk menciptakan perpecahan karena hal  ini jika diterapkan di indonesia yang memiliki masyarakat bersifat majemuk.Ditambah lagi dengan peran beberapa organisasi “terlarang” yang masuk secara legal ke dalam aspek politik, tentu hal ini menjadi momok menakutkan bagi masyarakat awam yang belum tahu atau belum bisa membedakan tentang informasi yang benar dan yang hanya membuat panas kondisi.

Hal ini membuat beberapa Ormas menjadi “gerah” dengan adanya berita hoax yang di buat oelh beberapa pihak dengan tujuan memecah belah persatuan masyarakat indonesia. Pimpinan ormas islam akhirnya bertindak dengan meminta KPU menjalankan proses secar jujur dan transparan.

Ormas islam menurut pimpinannya, hanya bisa menenangkan anggotanya di kalangan akar rumput serta menenangkan dan menghimbau masyarakat agar tetap berlandaskan hukum dan konstitusi untuk mencegah adanya perpecahan. Ormas yang ada disini tidak memiliki suatu kewenangan yang banyak. Yang memiliki kewenangan untuk meredam itu adalah KPU,  Pemerintah, masing-masing calon.

Dikarenakan KPU yang mulai sadar dengan pentingnya sosial media sebagai media untuk berekspresi. Peran KPU yang dilakukan untuk meredam perpecahan adalah dengan mulai bersikap untuk “menertibkan” akun-akun anonim yang menyuarakan black campaign, KPU juga melakukan langkah yang berupa pendaftaran akun resmi di media sosial harus menjadi kewajiban yang memiliki pengaturan sanksi nya secara jelas, karena beberapa alasan. Pertama, akun resmi kampanye di media sosial dapat dijadikan tolak ukur dalam melakukan kontrol pelaksanaan kampanye di media sosial. Hal ini akan sangat membantu Bawaslu, dan POLRI. Kedua, adanya akun resmi kampanye akan dapat dijadikan bahan bagi KPU dan Bawaslu untuk menyosialisasikan pada masyarakat sumber-sumber resmi yang dapat dipertanggung jawabkan untuk mengenal lebih jauh program masing-masing Capres-Cawapres. Dan Ketiga untuk melindungi masing-masing pasangan capres-cawapres dari akun-akun kampanye yang tidak resmi, yang isinya di penuhi dengan ujaran kebencian, hoax, fitnah, dan memecah belah persatuan bangsa dengan SARA.

 

2.4 Peran Kita Sebagai Masyarakat Untuk Tetap Memaknai Persatuan Yang Didasari Peristiwa Sejarah dan Nilai-Nilai Budaya Bangsa

Beberapa hal yang bisa kita lakukan sebagai masyarakat untuk memaknai persatuan bangsa berdasarkan nilai sejarah dan budaya yang telah di contohkan sejak zaman kerajaan sampai kemerdakaan yakni:

l  Mengenali atau minimal mempelajari pola pikir para pendahulu kita yang sudah berjuang, bersatu untuk memerdekakan bangsa indonesia menjadi kesatuan.

l  Memahami konsep toleransi dan saling pengertian para pemimpin kerajaan pada zaman dahulu yang mengesampingkan ego mereka agar bisa bersama-sama berjuang melawan penjajahan.

l  Tidak sekali-sekali mencederai politik untuk kepentingan bangsa dengan politik yang di gunakan untuk menonjolkan suku, agama dan ras-nya masing-masing

l  Selalu mengutamakan musyawarah dalam menyelesaikan atau merundingkan suatu masalah dengan kepala dingin sesuai yang diajarkan oleh pendahulu-pendahulu yang berjuang dalam mencapai kemerdekaan.

l  Tidak menyinggung suku, ras, dan agama ketika terjadi perselisihan yang seharusnya perselisihan tersebut dapat diselesaikan dengan hukum dan konstitusi.

l  Tetap menggaungkan semangat nasionalisme dikalangan mahasiswa dan semangat persatuan dilingkungan sekitar.


BAB III

PENUTUP

1.1    KESIMPULAN

 

Dari isu yang kita angkat menunjukkan bahwa kita sebagai bangsa dan negara yang merdeka masih menunjukkan ketidakmerdekaan dalam berpola pikir. Meskipun kita sebagai orang yang berpola pikir luas mencoba untuk mempengaruhi atau menunjukkan konsep pola pikir yang universal, tetapi hal itu tidak akan mampu merubah pola pikir atau cara untuk memahami yang digunakan semua orang. Karena kembali lagi, kita adalah bangsa majemuk dan cara kita  untuk meminimalisir perpecahan yang mengundang anarkisme adalah dengan memaknai peristiwa sejarah dan nilai-nilai budaya bangsa untuk menggalang persatuan indonesia, agar tidak terjadi perpecahan yang sama sekali tidak mencerminkan nilai persatuan yang dicontohkan oleh para pendahulu kita.

 

1.2    SARAN

 

Demikian makalah yang penulis buat, semoga dapat bermanfaat bagi pembaca. Penulis tentunya masih menyadari jika makalah ini masih terdapat banyak kesalahan dan jauh dari kesempurnaan. Penulis akan memperbaiki makalah ini dengan berpedoman pada banyak sumber serta kritik dan saran yang membangun dari para pembaca.


DAFTAR PUSTAKA

 

·         https://www.beritasatu.com/beritasatu/nasional/236510/drama-politik-yang-belum-tuntas-di-2014

·         https://news.detik.com/berita/d-4318350/politik-kompor-meleduk-di-pilpres-2019

·         https://brainly.co.id/tugas/12313306

 


Senin, 21 September 2020

INFLECTIONAL AND DERIVATION MORPHEMES

2ND GROUP

1. PPT

2. PAPER




INTRODUCTION

A.    PRELIMINARY

                Language has two aspects, namely meaning and form. In relation to meaning, the smallest unit of meaning in language is the morpheme. Morpheme is defined as the smallest meaning unit of a language (Lim Kiat Boey, 1975: 37). in relation to meaning, the smallest meaningful unit in language is morpheme.bound morphemes are classified into two namely derivational and inflectional morphemes . Words consist of morphemes. The word teacher, for example, consists of three units or morphemes, which means teaching, –er, and –s. Teaching morphemes form the word teacher has a lexical meaning; the morpheme –er means the actor teaches; morpheme -s has a plural meaning. We can identify the meaning of the morpheme that is taught even though it stands alone, but we cannot identify the meaning of the morpheme –er and –s separately. We can identify the meaning of the –er and –s morphemes after they are combined with the morphemes taught. Morphemes that can stand alone are significantly called free morphemes while morphemes such as –er and –s, which cannot be significantly independent are called bound morphemes. The bound morpheme must be attached to the free morpheme. Bound morphemes are also called prefixes which can be classified into prefixes, infixes and suffixes.

CHAPTER II

DISCUSSION

A.    INFLECTIONAL MORPHEMES

An inflected morpheme is a bound morpheme that expresses tension, number, gender, ownership, and so on. Unlike derived morphemes, inflectional morphemes do not change the grammatical categories of the words attached to them. Inflections are changes that signify the grammatical function of nouns, verbs, adjectives, adverbs, and pronouns (for example, noun plural, verb tenses). Inflectional morphemes are used to make the variant form of a word to signal grammatical information. For example, the suffix [-ed] indicates that the verb is past tense: cook-ed .

English has only eight inflectional affixes:

     noun plural {-s}

     noun possessive {-s}

     verb present tense {-s}

     verb past tense {-ed}

     verb past participle {-en}

     verb present participle {-ing}

     adjective comparative {-er}

     adjective superlative {-est}

Nouns take two inflected morphemes, plural and possessive.

Plural, -s: pen + -s = pens;

           -es: g + -es = glasses

*      Seveal plurals take different morphemes:

     datum --> data

     medium --> media

     ox --> oxen

     moose --> moose

Possessive –s: Barbara + -s = Barbara’s                     

*      When a singular possessive noun ends with–s or –z, it still takes the ‘s. The pronunciation of the ‘s just changes from the [s] sound to the [z] sound:

     bass --> bass’s

     maze --> maze’s

*      The possessive of a plural noun that ends with -s is pronounced like the plural form.. It’s spelled with a simple apostrophe and no additional –s:

     five days’ work

     the taxpayers’ burden

English has a relatively simple form of verb inflection. Every verb has an unaffected, or infinitive, form. It's just that there are four inflected morphemes that can attach to the infinitive form.

Inflection

Function

Example

Note that…

 

present-tense inflections -s

Used when the subject is a noun or third-person singular pronoun

She usually sits here.
The house stays cool at night.

Verbs ending in –s take -es, e.g. toss à tosses.

 

Past - tense inflection – morphemes ed

Used to indicate past tense of a regular verb.

The blackest dog never barked

Irregular verbs can inflect by changing their vowel (ride à rode) or take no change (cut à cut).  Some change more than a vowel (go à went).

 

 

past-participle inflection – morphemes en

Used with the helping verb have to form the present perfect & past perfect.

The two girls had eaten dinner .

So regular verbs, the past-participle inflection is –ed,

 

present-participle inflection - ing

Used with the helping verb be to form the present progressive.

I am walking to the store.
the cats tail was twitching

The present-participle inflection also often occurs as a noun modifer (e.g. the sleeping baby; a rolling stone).

 

 

In English, adjectives take only two inflections: comparative and superlative

Comparative: -er: brighter, greater, cuter, older.

Superlative: -est: brightest, greatest, cutest, oldest.

Several adverbs can give the same comparative and superlative inflections (-er; -est) that adjectives take:

     sit longer

     walk faster

     read harder

Many adverbs cannot take these inflections, however. Notice the awkwardness of the following phrases:

     He said slylier.

     She danced awkwardliest.

Like several adjectives, these same examples can use more and most to make comparisons and superlatives:

     We have to make this matter finish easily

     She danced most awkwardly.

B.     DERIVATION MORPHEMES

Derivation morpheme is a morpheme that produces a new lexeme of bases. Derivation morpheme is a bound morpheme which produces (creates) new words by changing the meaning or part of speech or both. In beautiful words, the bound morpheme creates new words by changing the meaning and parts of speech. Beauty is a noun but the derivative beautiful is an adjective. Some derived morphemes create new meanings but do not change syntactic categories or parts of speech.

In English, derived morphemes can be either a prefix or a suffix. All prefixes in English are derivative. All prefixes in English change their meaning although they do not change syntactic categories. For example, inefficient derivative prefixes, unin undo, re-in rewrite, dislike and a-in amoral change positive meanings to negative meanings but do not change the syntactic category of derived words; efficient is an adjective and the derivative inefficient is also an adjective; do is a verb and the derivative undo is also a verb; write is a verb and the derivative rewrite is also a verb; moral is an adjective and also immoral derivatives and adjectives. All derived prefixes described above mean 'no'. Most of the derived suffixes change the syntactic category and its meaning. Only a few of them did not change the syntax category. Derivative suffixes that change syntactic categories can be noun-forming suffixes, verb-forming suffixes, adjective-forming suffixes, and adverb-forming suffixes.

a)      Types of English Derivational Morphemes

Derived morphemes can be prefix and suffix. Further explanation can be seen below:

Ø  Derivational Prefixes

Prefix

Base

Derived Word

Meaning

un-

Fair (adjective)

Unfair (adjective)

Not

in-

Balance (noun)

Inbalance (noun)

Absence of balance

re-

Write (verb)

Rewrite (verb)

Write again

dis-

Connect (verb)

Disconnect (verb)

Take apart

mis-

Understand (verb)

Misunderstand

(verb)

Understand wrongly

pre-

Cook (verb)

Precook (verb)

Cook before

a-

Moral (adjective)

Amoral (adjective)

Not concerned with

Ø  Derivational Suffixes

           Noun-Forming Suffix

Noun-forming suffixes are derivative suffixes that change a word or morpheme into a noun.The following is an explanation of the derivative suffixes that form nouns:

¡       Suffix –er, suffix –er attached to a verb is a derivative morpheme that converts a verb to a noun.The suffix creates a new meaning of 'one who takes action'.Here's an example of the suffix -er attached to a verb:

Base (Verb)

Suffix

Derived Word (Noun)

write

-er

writer


¡      
Suffix –ment, the suffix –ment  is the derivational morphemes which can be attached to some verbs to form nouns . This suffix can the new meaning ‘abstract noun’

Base (Verb)

Suffix

Derived Word (Noun)

agree

-ment

agreement


¡      
Suffix –ness, suffix –ness

Base (Adjective)

Suffix

Derived Word (Noun)

bright

-ness

brightness

 

¡       Adjective-forming suffix . The following is an explanation of the derivational suffixes that form adjectives.

Base (Verb)

Suffix

Derived Word (Noun)

educate

-ion

education

 

           Adjective-Forming Suffixe

Adjective-forming suffixes are derived suffixes that change a word or morpheme into an adjective. The following is an explanation of the derivation suffixes that form adjectives

¡       Suffixe –able, Suffix –able is a derivative morpheme that converts bases into adjectives. In this case, the base can be a verb or a noun. Here's an example:

Base (Verb)

Suffix

Derived Word (Adjective)

eat

-able

eatable


¡      
Suffix –ful, The suffix –ful

Base (Noun)

Suffix

Derived Word (Adjective)

care

-ful

careful


¡      
The suffix –less, like the suffix –ful, the suffix –less is a derivative morpheme that changes the base to an adjective. In this case, the base is a noun. Here's an example:

Base (Noun)

Suffix

Derived Word (Adjective)

home

-less

homeless

 

           Verb-Forming Suffixes

Verb-forming suffixes are derivation suffixes that change words or morphemes into verbs. The following is an explanation of the derivative suffixes that make up verbs:

¡       Suffix –en

Base (Adjective)

Suffix

Derived Word (Verb)

wide

-en

widen


¡      
Suffix –ify, Suffix –ify is a derivational of the morpheme that converts the base into a verb. Bases can be both adjectives and nouns. Examples are as follows:

Base (Adjective)

Suffix

Derived Word (Verb)

Clear

-ify

clarify


¡      
Suffix –ize, Suffix –ize is a derivational of the morpheme that converts the base into a verb. Bases can be nouns and adjectives. Examples are as follows:

Base (Noun)

Suffix

Derived Word (Verb)

apology

-ize

apologize


           Adverb-Forming Suffixes

Adverb-forming suffixes are derivational suffixes that change a word or morpheme into an adverb. Here are examples of derived suffixes that form adverbs:

Base (Adjective)

Suffix

Derived Word (Adverb)

loud

-ly

loudly

 

CHAPTER III

CLOSING

A.    CONCLUSION

1. Inflectional morpheme is a bound morpheme that tells of tension, number, gender, ownership, and so on. Unlike derived morphemes, inflectional morphemes do not change the grammatical categories of the words attached to them. Inflections are changes that indicate the grammatical function of nouns, verbs, adjectives, adverbs, and pronouns (for example, noun plural, verb tenses). Inflectional morphemes are used to create variant forms of a word to signal grammatical information.

2. Derivation morpheme is a bound morpheme that produces (creates) new words by changing the meaning or part of speech or both. In English, derived morphemes can be either a prefix or a suffix. All prefixes in English are derivative. All prefixes in English change their meaning although they do not change syntactic categories. Derivative suffixes that change syntactic categories can be noun-forming suffixes, verb-forming suffixes, adjective-forming suffixes, and adverb-forming suffixes.

 

BIBLIOGRAPHY

 

https://www.thoughtco.com/derivational-morpheme-words-1690381

https://www.thoughtco.com/what-is-an-inflectional-morpheme-1691064

https://semanticsmorphology.weebly.com/inflectional-and-derivational-morphemes.html